Rabu, 27 Januari 2016

Pendalaman Alkitab: Kejadian - Siapakah Engkau?


Kisah Yakub adalah kisah yang menakjubkan. Nama Yakub berarti “Penyambar” sebab ketika ia lahir dengan saudara kembarnya, ia sedang memegangi tumit kakaknya itu. Ternyata Yakub hidup sesuai dengan namanya itu. Ada dua hal yang layak dimiliki dalam keluarganya dan Yakub menyambar kedua-duanya. Hak kesulungan adalah warisan yang jatuh ke tangan putra sulung, dan berkat adalah janji yang Allah berikan kepada Abraham yang diteruskan kepada Ishak dan akan diteruskan kepada putra sulung. Esau, kakak Yakub, menjual hak kesulungannya kepada Yakub demi semangkuk sup dan Yakub memperdayai ayahnya dan mencuri berkat dari kakaknya. Setelah Yakub memperdayai ayahnya dan menyambar hak kesulungan dan berkat tersebut, ibunya datang kepadanya dan mengatakan, “Engkau harus pergi, Yakub, sebab kakakmu mau membunuhmu. Pergilah menetap pada Laban, saudara ibu, selama beberapa lama hingga kakakmu tenang.” (lihat 27:42-43). Pada malam pertama Yakub meninggalkan rumahnya, ia bermimpi. Di dalam mimpinya, Yakub melihat sebuah tangga melalui mana para malaikat turun naik ke langit. Dalam mimpinya Yakub melihat Allah menampakkan diri kepadanya dan menegaskan kembali janji-Nya kepada Abraham, yaitu kakek Yakub. Allah berjanji akan menjadikan Yakub bagian dari rencana-Nya, sambil menambahkan, “Sesungguhnya Aku menyertai engkau dan Aku akan melindungi engkau, ke mana pun engkau pergi, dan Aku akan membawa engkau kembali ke negri ini, sebab Aku tidak akan meninggalkan engkau, melainkan tetap melakukan apa yang telah Kujanjikan kepadamu.”  (28:15). Yakub terjaga dari mimpinya dengan penuh rasa takjub. “Sesungguhnya Tuhan ada di tempat ini, dan aku tidak mengetahuinya.” (ayat 16). Dan sebelum melanjutkan perjalanannya, Yakub mengambil batu yang telah digunakannya sebagai bantal dan mengurapinya dengan minyak, bersumpah akan mengembalikan sepersepuluh dari segala yang Allah berikan kepadanya (18-22). 
Pergumulan Yakub Yang terjadi berikutnya adalah bagian utama kisah tentang Yakub. Setelah dua puluh tahun bekerja keras bagi pamannya, Laban, Yakub mendapatkan pengalaman rohani yang sangat pribadi dengan Allah. Pengalaman tersebut digambarkan dalam Kejadian 32, di mana kita membaca: “Dan seorang laki-laki bergulat dengan dia sampai fajar menyingsing. Ketika orang itu melihat, bahwa ia tidak dapat mengalahkannya, ia memukul sendi pangkal paha Yakub, sehingga sendi pangkal paha itu terpelecok, ketika ia bergulat dengan orang itu. Lalu kata orang itu: ‘Biarkanlah aku pergi, karena fajar telah menyingsing.’ Sahut Yakub: ‘Aku tidak akan membiarkan engkau pergi, jika engkau tidak memberkati aku.’ Bertanyalah orang itu kepadanya: ‘Siapakah namamu?’ Sahutnya: ‘Yakub.’ Lalu kata orang itu: ‘Namamu tidak akan disebutkan lagi Yakub, tetapi Israel, sebab engkau telah bergumul melawan Allah dan manusia, dan engkau menang.’ Bertanyalah Yakub: ‘Katakanlah juga namamu.’ Tetapi sahutnya: ‘Mengapa engkau menanyakan namaku?’ Lalu diberkatinyalah Yakub di situ. Yakub menamai tempat itu Pniel, sebab katanya: ‘Aku telah melihat Allah berhadapan muka, tetapi nyawaku tertolong!’ (24-30). Tolong Anda memperhatikan pertanyaan Allah kepada Yakub: “Siapakah namamu?” Di zaman Alkitab, nama mempunyai makna, seperti yang telah kita temukan. Nama menjelaskan sesuatu tentang orang yang bersangkutan, nama menjelaskan identitas orang yang bersangkutan. Dengan pertanyaan tersebut, Allah bukanlah menanyakan nama Yakub. Melainkan, “Siapakah engkau?” Dan tentu, hal itu bukan karena Allah perlu mengetahui jawabannya, melainkan karena Allah mau Yakub sendiri mengetahui jawabannya. Nama Yakub, seperti yang telah kita lihat, berarti “Penyambar.” Akan tetapi nama barunya, yaitu Israel, nama yang akan diemban seluruh keturunannya, berarti “Pejuang.” Ada satu hal penting lagi dalam kisah ini yang jangan sampai kita lewatkan. Saya menyebutnya “Berkat Mahkota Lumpuh.” Karena Yakub demikian nakal, Allah tidak bisa memberkatinya sampai Ia mematahkan kakinya. Terkadang Allah tidak bisa menembus kita dengan cara lain lagi, dan oleh karenanya Allah terpaksa melumpuhkan kita entah dalam hal apa, memaksa kita untuk mengandalkan Dia. Demikianlah yang terjadi pada Yakub. Dan pada akhirnya, Yakub menangkap pesan Allah. Ketika pada akhirnya ia berjumpa dengan Esau – dimana ia tidak menghajarnya melainkan merangkul dan mengecupnya – Yakub memberitahu Esau bahwa ia memiliki banyak istri, anak, dan ternak karena “Allah telah memberi karunia kepadaku.” (33:11). Bukan karena Yakub menyambarnya, melainkan berkat kasih karunia Allah. Kasih karunia adalah ciri Allah di mana Ia melimpahkan berkat-Nya kepada kita, padahal kita tidak pantas mendapatkannya. Belas kasihan Allah menahan apa yang sesungguhnya pantas kita dapatkan dari Allah. Allah juga mengajari kita untuk tunduk kepada-Nya. Terkadang Allah memilih melakukan hal itu dengan cara mematahkan kita, sehingga Ia dapat memberkati kita. Kita sungguh perlu memandang ke tiga tempat untuk mengetahui Allah menghendaki kita menjadi siapa. Pertama, kita perlu memandang ke atas. Dalam seluruh kisah Alkitab yang akan kita pelajari, kita akan melihat bahwa sering kali Allah membutuhkan waktu yang lama untuk membuat orang “memandang ke atas.” Akan tetapi memandang kepada Allah adalah suatu keharusan kalau kita mau mencari tahu Allah menghendaki kita menjadi siapa. Sebab Allahlah yang menciptakan kita. Dialah yang memegang rancangan bagi kehidupan kita. Berikutnya, kita perlu memandang ke dalam hati kita. Dalam Mazmur 139, Daud berdoa, “Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiranpikiranku; lihatlah, apakah jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal!” (23-24). Kita semua perlu memohon agar Allah menyertai kita untuk menyelidiki hati dan kehidupan kita serta menuntun kita menjadi seperti yang Ia kehendaki. Pada akhirnya, kita perlu memandang ke sekeliling kita. Orang yang telah memandang ke atas dan telah benar-benar memandang ke dalam hatinya, sekarang telah siap memandang ke sekelilingnya dan berhubungan dengan sesama serta menjadi bagian dari rencana Allah bagi dunia. Apakah Anda pernah benar-benar memandang kepada Allah, untuk memahami apa yang Ia katakan tentang identitas Anda di dalam Dia? Seberapa sering Anda memandang ke dalam untuk melihat kondisi hati Anda? Apakah Anda memandang ke sekeliling untuk melihat bagaimana Allah menghendaki Anda berinteraksi dengan orang-orang dalam kehidupan Anda?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar