Jumat, 22 Januari 2016

Pendalaman Alkitab: Kejadian - Di Manakah Saudaramu?


Salah satu pesan utama Alkitab adalah kebutuhan manusia untuk berdamai dengan Allah. Dan Allah langsung memungkinkan perdamaian begitu dosa pertama dilakukan. Dalam Kejadian 3:15, kita membaca nubuat pertama tentang sang Mesias ketika Allah berfirman kepada sang ular: “Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu dan keturunannya; keturunannya akan meremukkan kepalamu, dan engkau akan meremukkan tumitnya.”   Memahami bahwa sang ular mewakili Iblis, demikianlah petunjuk pertama bahwa Allah akan mendatangkan Satu Pribadi ke dunia ini yang akan meluruskan segalanya. Demikianlah nubuat konsekuensi dosa Adam dan Hawa.  Sungguh banyak konsekuensi negatifnya! Pertama, manusia terpisah dari Allah. Lalu dalam pasal 4 kita membaca tentang konsekuensi lain dari kejatuhan manusia ke dalam dosa – konflik. Allah menjelaskan konflik pada mulanya agar kita dapat memahami konflik pada waktu sekarang. Kita memiliki konflik dengan diri sendiri, dengan pasangan kita, dengan anak-anak kita, dengan orangtua kita. Kita memiliki konflik di tempat kerja. Dan tentunya, kita memiliki konflik di antara bangsa-bangsa. Konflik adalah salah satu masalah terbesar kita. Dalam Kejadian 4, kita akan menemukan beberapa penyebab utama konflik dan beberapa solusi yang dapat memecahkan konflik. Kitab Kejadian memberi kita informasi dalam bentuk kisah tentang kakak beradik.   Namanya sangat tidak asing: Kain dan Habel. Alkisah, Kain memberikan persembahan kepada Allah. Karena Kain seorang pengolah tanah, seorang petani, ia membawakan hasil bumi sebagai persembahan. Adiknya, Habel, adalah seorang gembala, maka ia membawakan domba sebagai persembahan. Persembahan Habel diterima, sedangkan persembahan Kain tidak diterima.   Banyak orang keliru menganggap bahwa persembahan Habel diterima karena berbentuk hewan korban. Padahal tidak ada ayat yang menyebutkan demikian. Persembahan Habel diterima sebab dirinya sendiri diterima. Persembahan Kain tidak diterima sebab dirinya sendiri tidak diterima (ayat 6-7).   Ketika membaca kisah tentang Kain dan Habel, kita cenderung mengasumsikan apa yang tidak tertulis. Padahal Kain tidak diperintahkan untuk membawakan hewan korban sebagai persembahan. Bahkan dalam Kitab Imamat, bangsa Israel pada waktu itu diperintahkan untuk membawakan persembahan berupa gandum dan hasil bumi, tergantung pada apa yang mereka hasilkan. Jadi yang menjadi masalah bukanlah jenis persembahannya, melainkan orangnya. Kain sendiri tidak berkenan kepada Tuhan, dan ketika ia mengetahui hal itu, ia menjadi marah dan depresi.   Sama seperti kepada orangtua Kain, Allah pun bertanya kepada Kain: “Mengapa hatimu panas dan mukamu muram?” (ayat 6). Tentu, Allah sudah mengetahui jawabannya. Akan tetapi tampaknya hati Kain yang keras kepala tidak juga menangkap pesan Allah, maka Allah melanjutkan, “Apakah mukamu tidak akan berseri, jika engkau berbuat baik? Tetapi jika engkau tidak berbuat baik, dosa sudah mengintip di depan pintu; ia sangat menggoda engkau, tetapi engkau harus berkuasa atasnya.” Tragisnya, Kain tidak menguasai dosanya. Dalam ayat 8 kita diberitahu bahwa ia membunuh adiknya.   Sekali lagi, Allah bertanya: “Di mana Habel, adikmu itu?” Apakah yang telah kauperbuat ini?” Akan tetapi Kain, masih juga keras kepala, tidak mau mengakui dosanya hingga Allah menyatakan dengan jelas bahwa Ia sudah mengetahui segala yang terjadi (ayat 9-10).   Dalam Kejadian 3, pertanyaannya adalah: “Di manakah engkau?” Dalam Kejadian 4, pertanyaannya adalah, “Di manakah adikmu?” Allah berusaha membuat Kain menyadari apa yang sesungguhnya terjadi – bahwa ia telah melampiaskan amarahnya terhadap pihak yang tidak bersalah, dan bahwa sesungguhnya ia masih juga marah. Perbuatannya membunuh adiknya itu tidak memecahkan masalahnya, malah memperparah masalahnya.  Kunci keseluruhan kisah ini adalah ayat 7 yang menyatakan inti masalah konfliknya sekaligus solusinya: “Jika engkau melakukan kebenaran, engkau akan diterima oleh Allah, oleh dirimu sendiri, dan engkau takkan perlu membunuh Orang yang Aku Terima.” Dalam Khotbah-Nya di Bukit, tepatnya dalam Matius 7:1-5, Yesus memberikan perumpamaan yang mirip dengan kisah tentang Kain dan Habel. Yesus menanyakan kepada orang-orang munafik: mengapa mereka demikian mengritik, dan mana mungkin mereka berhasil dengan sikap yang demikian mengritik? Yesus menggunakan sebuah ilustrasi yang tidak biasa yaitu bahwa mereka adalah ibarat orang yang merasa terpanggil untuk menunjukkan selumbar di mata orang lain, padahal ada balok di dalam mata mereka sendiri yang tidak mereka sadari.    Banyak orang menganggap bahwa pesan Yesus adalah agar kita tidak menghakimi orang lain. Padahal yang ingin Yesus sampaikan adalah persis seperti yang Allah ingin ajarkan kepada Kain: “Engkau keliru memandang persoalan. Berhenti memusingkan adikmu dan sebaliknya, introspeksilah dirimu sendiri.”
Untungnya, kematian Habel tidak menjadi kematian dari kebaikan. Dua generasi berikutnya, dalam Kejadian 4:26, kita melihat kejadian pertama di mana manusia menginisiatifkan persekutuan dengan Allah lewat doa. Hingga saat itu, segala komunikasi di antara Allah dengan manusia adalah atas inisiatif Allah.   Kita semua terkadang menghadapi konflik. Terkadang bukan kita sumbernya, terkadang bersumber dari kita. Akan tetapi, setiap kali Anda menemukan diri Anda terlibat dalam sebuah konflik, cobalah mengendalikan perasaan Anda lalu tanyakan kepada diri sendiri, apa sesungguhnya masalah Anda. Lalu, seperti yang disarankan Kejadian 4:7, lakukanlah kebenaran, jadilah berkenan di mata Allah maupun diri sendiri sehingga Anda tidak perlu memukuli orang-orang yang tidak bersalah sampai mati.   
Sekarang kita sampai ke bagian terbesar dari Kitab Kejadian, yang ada hubungannya dengan tiga tokoh terkenal dalam Alkitab: Abraham, Yakub dan Yusuf. Ingatlah, banyaknya tempat yang diberikan bagi sebuah subjek menjelaskan sesuatu betapa pentingnya subjek tersebut. Iman, adalah tema dari kisah Abraham dalam kitab Kejadian. Saat kita mempelajari beberapa pasal berikutnya, Allah menghendaki kita memahami iman pada mulanya dan iman pada waktu sekarang. Ibrani 11, yang dikenal sebagai Pasal Iman dalam Alkitab, mengatakan begini: “Tetapi tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah. Sebab barangsiapa berpaling kepada Allah, ia harus percaya bahwa Allah ada, dan bahwa Allah memberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia.” (ayat 6). Karena iman demikian penting dan Allah menghendaki kita memahami iman, maka Allah menceritakan tentang seseorang bernama Abraham. Dibandingkan dengan tokoh lain dalam Alkitab, Abraham inilah yang paling banyak disebut dalam Perjanjian Baru, dan selalu dalam hubungannya dengan iman. Kalau Anda ingin memahami iman, Anda perlu memahami Abraham. 
Namanya Pria ini adalah definisi iman yang hidup. Ketika pertama kali berjumpa dengannya di akhir Kejadian 11, namanya Abram, yang artinya “bapa banyak anak.” Sungguh nama yang ironis bagi pria tak beranak yang sudah berusia 75 tahun! Akan tetapi, Allah memberitahu Abram: “Aku akan menjadikan keturunanmu seperti debu tanah banyaknya, sehingga, jika seandainya ada yang dapat menghitung debu tanah, keturunanmu pun akan dapat dihitung juga.” (13:16). Dan dari ketaatan Abram yang setia terhadap setiap petunjuk Allah, kita dapat menduga bahwa Abram mempercayai Allah dalam hal itu – setidaknya lebih sering mempercayai-Nya. (lihat Kejadian 16). 
Mezbah-mezbahnya Biasanya kita membayangkan diri dipanggil ke suatu ladang misi atau ke sebuah gereja atau ke sebuah organisasi. Akan tetapi, apakah pernah terpikirkan, bahwa kita dipanggil hanya kepada Allah? Bagaimana seandainya Allah meminta Anda menuju ke padang belantara yang tidak berpopulasi, tanpa menjelaskan alasan-Nya? Itulah yang terjadi kepada Abraham ketika ia sudah berusia 75 tahun (lihat 12:1-4). Allah memanggil Abraham untuk meninggalkan ayahnya, negri asalnya, dan seluruh sanak saudaranya, menuju ke padang belantara. Seperti halnya dengan kisah lain, ada dua sisi dalam kisah ini: sisi Allah dan sisi manusia. Untuk melihat sisi Allah, silakan mempelajari penampakan diri Allah kepada Abraham. Allah menampakkan diri-Nya kepada Abraham sebanyak delapan kali. Allahlah yang menginisiatifkan hubungan dengan Abraham, dan demikian pula dengan hubungan setiap manusia dengan Allah. Dalam Roma 3:11, Paulus menjelaskan bahwa tidak ada manusia yang mencari Allah. Allahlah yang mencari manusia. Kalau seseorang tampak seolah-olah mencari Allah, ia hanya menanggapi inisiatif Allah mencarinya. Allahlah yang selalu menginisiatifkan hubungan. Sisi manusia atau respons Abraham terhadap Allah, tampak dalam bentuk keempat mezbah yang dibangunnya. Mezbah pertamanya dibangun di dataran More, di mana Allah menampakkan diri kepadanya dan mengatakan, “Aku akan memberikan negri ini kepada keturunanmu.” (12:7). Kata More secara harafiah berarti “mengajar atau mencari.” Saya menyebut mezbah Abraham yang pertama ini “Mezbah Respons” karena dibangun sebagai respons kepada Allah yang memanggilnya ke padang belantara. Mezbah Abraham yang kedua dibangun di antara Ai dengan Betel. Dalam bahasa Ibrani, Betel artinya “rumah Allah.” Karena Allah tidak mempunyai rumah pada titik tersebut, kata ini tampaknya berarti “tempat di mana Allah berada.” Ai artinya, “Reruntuhan, kesengsaraan, lubang.” Roma 6:23 mengatakan: “Upah dosa adalah maut,” dan Ai mewakili maut. Di sebelah timur Ai terletak Sodom dan Gomora. Pada mezbahnya yang pertama, Abram mengatakan, “Ajarilah aku.” Pada mezbah yang kedua, dilihat dari letaknya, Abram mau menunjukkan bahwa ia belum memutuskan bagaimana responsnya terhadap apa yang sedang Allah ajarkan kepadanya. Abram meninggalkan mezbah yang kedua ini, baik secara geografis maupun secara rohani, lalu pergi ke selatan. Abram menyuruh istrinya mengaku bahwa dirinya saudara perempuan Abram supaya orang Mesir takkan membunuh Abram demi mengambil istrinya. Abram mengalami banyak masalah dan tampaknya “gagal” secara rohani. Setelah insiden tersebut, Abraham kembali ke lokasi mezbah keduanya dan berseru kepada Allah. Setelah ibadah yang tulus itu, Abraham menyarankan kepada Lot agar mereka berpisah. Kitab Suci tidak menjelaskan apa yang mereka bicarakan, namun tampaknya Allah menunjukkan kepada Abraham bahwa seharusnya Abraham tidak mengajak Lot sedari mulanya. Dan karena kemudian kita melihat Lot menetap di Sodom dan Gomora, kita baru mengerti alasannya. Lot pergi ke timur; Abraham pergi ke barat dan membangun mezbahnya yang ketiga di sebuah tempat bernama Hebron. Kata Hebron berarti “persekutuan.” Menurut saya nama ini pun bersifat simbolis. Di mana mezbah yang pertama mengatakan, “Ajarilah aku,” mezbah kedua mengatakan, “Aku tidak tahu pasti,” atau “Aku masih ragu,” mezbah ketiga mengindikasikan, “Ya Allah, aku ingin mengenal-Mu.” Saya menyebut mezbah ketiga ini “Mezbah Hubungan.” Dalam dua pasal pertama dari kisah Abraham, yaitu Kejadian 12 dan 13, Abraham membangun tiga mezbah. Abraham tidak membangun mezbah lagi hingga Kejadian 22. Apa yang terjadi antara mezbah yang ketiga dengan yang keempat? Ketika Abraham mengatakan, “Ya Allah, aku ingin mengenal-Mu,” menurut saya Allah menjawab, “Abraham, kalau engkau mau menjalin hubungan dengan-Ku, ketahuilah sesuatu. Kalau Aku berarti sesuatu, Aku adalah segalanya. Sebab, sampai engkau memandang-Ku sebagai segalanya, engkau belum melihat-Ku sebagai apa pun.” Dan kehidupan Abraham penuh dengan hal-hal lain yang belum mau dilepaskannya. Dalam Kejadian 16 kita melihat Abraham dan Sara menjadi prihatin bagaimana Allah akan memenuhi janjiNya untuk memberikan keturunan – maka mereka memutuskan untuk menolong-Nya. Atas saran istrinya, Abraham berhubungan dengan Hagar, hamba istrinya dari Mesir (ayat 1-4). Anak yang dihasilkannya adalah Ismael, yang menjadi bapa bangsa Arab. Tidak akan ada krisis Timur Tengah sekarang ini seandainya Abraham tidak memutuskan untuk menolong Allah.
Saya percaya bahwa Sara mewakili satu lagi masalah dalam hubungan Abraham dengan Allah. Mezbah ketiga, yaitu Mezbah Hubungan, mewakili hubungan vertikal dan hubungan horizontal. Keduanya tak terpisahkan. Untuk mengenal Allah, Allah harus diberikan tempat yang menjadi hak-Nya dalam segala hubungan Abraham. Allah harus berbicara kepada Abraham tentang Lot dan mengeluarkan Lot dari kehidupan Abraham. Lot mewakili orang-orang dalam kehidupan kita yang tidak Allah kehendaki dalam kehidupan kita. Allah juga harus mengeluarkan Ismael dari kehidupan Abraham. Ismael mewakili faktor iman yaitu bahwa musuh terbesar dari berkat terbaik dari Allah adalah sesuatu yang baik. Allah menampakkan diri kepada Abraham dan menyuruhnya mengusir Ismael. Satu per satu, Allah menyingkirkan semua orang yang berebut tempat pertama dalam kehidupan Abraham. Sara masalah lain. Sara adalah gambaran orang yang memang ditempatkan Allah dalam kehidupan kita, namun yang tidak kita sadari sebagai karunia Allah. Allah harus dua kali menampakkan diri kepada Abraham tentang Sara. Kedua kalinya, Allah mengatakan, “Tentang istrimu Sarai, janganlah engkau menyebut dia lagi Sarai, tetapi Sara, itulah namanya. Aku akan memberkatinya, dan dari padanya juga Aku akan memberikan kepadamu seorang anak laki-laki.” (17:15-16). Ketika Abraham mendengarnya, ia tertunduk dan tertawa! Ketika Sara mendengar kabar tersebut, ia juga tertawa! Setahun kemudian, lahirlah seorang anak bagi Abraham dan Sara, dan Allah menyuruh mereka menamainya Ishak, yang dalam bahasa Ibrani berarti “tawa.” Allah tidak pernah menghendaki “pahlawanpahlawan iman” ini melupakan bahwa mereka menertawakan-Nya ketika Ia memberitahukan apa yang akan Ia lakukan. Pada akhirnya, ketika Ishak masih muda, Abraham membangun mezbah keempat, dan inilah mezbah yang terpenting. Mezbah ini dibangun di gunung Moria. Moria artinya “Yehovah akan menyediakan.” Sebelumnya, Abrahamlah yang memilih lokasi mezbahnya. Akan tetapi mezbah keempat ini lain. Kali ini, Allahlah yang memilih lokasinya. Dan kali ini, Allahlah yang meminta persembahannya – yaitu Ishak. Ishak bukan saja putra satu-satunya Abraham dan Sara setelah mereka tua, melainkan juga penggenapan iman selama dua puluh lima tahun. Dan sekarang, bertentangan dengan nalar, Allah mengatakan, “Aku menginginkan Ishak.” Dan Abraham membawa Ishak dengan maksud memenuhi permintaan Allah. Akan tetapi pada menit-menit terakhir, setelah Abraham membuktikan ketaatannya, Allah menyediakan seekor domba jantan sebagai pengganti nyawa Ishak (lihat 22:1-19). Abraham menyebut tempat itu Yehovah-Jireh, yang berarti “Yehovah akan menyediakan.” Melalui mezbah-mezbah Abraham terdapat kiasan iman, bahwa pada gunung pilihan Allah, pada mezbah dimana “Allah yang diutamakan,” Allah menyediakan buah dari iman selama dua puluh lima tahun. Abraham bukan mempersembahkan Ishak pada mezbah keempat ini. Pada mezbah dimana “Allah yang diutamakan” ini Abraham mempersembahkan dirinya. Pesan Alkitab ialah “Allah yang utama”. Hal itu tidak mudah, namun juga tidak rumit. Entah apakah Allah itu Allah Anda, atau bukan. Pada akhirnya, bagi Abraham, Allah adalah Allahnya.   
Bab 10 Siapakah Engkau?  
Kisah Yakub adalah kisah yang menakjubkan. Nama Yakub berarti “Penyambar” sebab ketika ia lahir dengan saudara kembarnya, ia sedang memegangi tumit kakaknya itu. Ternyata Yakub hidup sesuai dengan namanya itu. Ada dua hal yang layak dimiliki dalam keluarganya dan Yakub
menyambar kedua-duanya. Hak kesulungan adalah warisan yang jatuh ke tangan putra sulung, dan berkat adalah janji yang Allah berikan kepada Abraham yang diteruskan kepada Ishak dan akan diteruskan kepada putra sulung. Esau, kakak Yakub, menjual hak kesulungannya kepada Yakub demi semangkuk sup dan Yakub memperdayai ayahnya dan mencuri berkat dari kakaknya. Setelah Yakub memperdayai ayahnya dan menyambar hak kesulungan dan berkat tersebut, ibunya datang kepadanya dan mengatakan, “Engkau harus pergi, Yakub, sebab kakakmu mau membunuhmu. Pergilah menetap pada Laban, saudara ibu, selama beberapa lama hingga kakakmu tenang.” (lihat 27:42-43). Pada malam pertama Yakub meninggalkan rumahnya, ia bermimpi. Di dalam mimpinya, Yakub melihat sebuah tangga melalui mana para malaikat turun naik ke langit. Dalam mimpinya Yakub melihat Allah menampakkan diri kepadanya dan menegaskan kembali janji-Nya kepada Abraham, yaitu kakek Yakub. Allah berjanji akan menjadikan Yakub bagian dari rencana-Nya, sambil menambahkan, “Sesungguhnya Aku menyertai engkau dan Aku akan melindungi engkau, ke mana pun engkau pergi, dan Aku akan membawa engkau kembali ke negri ini, sebab Aku tidak akan meninggalkan engkau, melainkan tetap melakukan apa yang telah Kujanjikan kepadamu.”  (28:15). Yakub terjaga dari mimpinya dengan penuh rasa takjub. “Sesungguhnya Tuhan ada di tempat ini, dan aku tidak mengetahuinya.” (ayat 16). Dan sebelum melanjutkan perjalanannya, Yakub mengambil batu yang telah digunakannya sebagai bantal dan mengurapinya dengan minyak, bersumpah akan mengembalikan sepersepuluh dari segala yang Allah berikan kepadanya (18-22). 
Pergumulan Yakub Yang terjadi berikutnya adalah bagian utama kisah tentang Yakub. Setelah dua puluh tahun bekerja keras bagi pamannya, Laban, Yakub mendapatkan pengalaman rohani yang sangat pribadi dengan Allah. Pengalaman tersebut digambarkan dalam Kejadian 32, di mana kita membaca: “Dan seorang laki-laki bergulat dengan dia sampai fajar menyingsing. Ketika orang itu melihat, bahwa ia tidak dapat mengalahkannya, ia memukul sendi pangkal paha Yakub, sehingga sendi pangkal paha itu terpelecok, ketika ia bergulat dengan orang itu. Lalu kata orang itu: ‘Biarkanlah aku pergi, karena fajar telah menyingsing.’ Sahut Yakub: ‘Aku tidak akan membiarkan engkau pergi, jika engkau tidak memberkati aku.’ Bertanyalah orang itu kepadanya: ‘Siapakah namamu?’ Sahutnya: ‘Yakub.’ Lalu kata orang itu: ‘Namamu tidak akan disebutkan lagi Yakub, tetapi Israel, sebab engkau telah bergumul melawan Allah dan manusia, dan engkau menang.’ Bertanyalah Yakub: ‘Katakanlah juga namamu.’ Tetapi sahutnya: ‘Mengapa engkau menanyakan namaku?’ Lalu diberkatinyalah Yakub di situ. Yakub menamai tempat itu Pniel, sebab katanya: ‘Aku telah melihat Allah berhadapan muka, tetapi nyawaku tertolong!’ (24-30). Tolong Anda memperhatikan pertanyaan Allah kepada Yakub: “Siapakah namamu?” Di zaman Alkitab, nama mempunyai makna, seperti yang telah kita temukan. Nama menjelaskan sesuatu tentang orang yang bersangkutan, nama menjelaskan identitas orang yang bersangkutan. Dengan pertanyaan tersebut, Allah bukanlah menanyakan nama Yakub. Melainkan, “Siapakah engkau?” Dan tentu, hal itu bukan karena Allah perlu mengetahui jawabannya, melainkan karena Allah mau Yakub sendiri mengetahui jawabannya. Nama Yakub, seperti yang telah kita lihat, berarti “Penyambar.” Akan tetapi nama barunya, yaitu Israel, nama yang akan diemban seluruh keturunannya, berarti “Pejuang.” Ada satu hal penting lagi dalam kisah ini yang jangan sampai kita lewatkan. Saya menyebutnya “Berkat Mahkota Lumpuh.” Karena Yakub demikian nakal, Allah tidak bisa memberkatinya sampai Ia mematahkan kakinya. Terkadang Allah tidak bisa menembus kita dengan cara lain lagi, dan oleh karenanya Allah terpaksa melumpuhkan kita entah dalam hal apa, memaksa kita untuk mengandalkan Dia. Demikianlah yang terjadi pada Yakub. Dan pada akhirnya, Yakub menangkap pesan Allah. Ketika pada akhirnya ia berjumpa dengan Esau – dimana ia tidak menghajarnya melainkan merangkul dan mengecupnya – Yakub memberitahu Esau bahwa ia memiliki banyak istri, anak, dan ternak karena “Allah telah memberi karunia kepadaku.” (33:11). Bukan karena Yakub menyambarnya, melainkan berkat kasih karunia Allah. Kasih karunia adalah ciri Allah di mana Ia melimpahkan berkat-Nya kepada kita, padahal kita tidak pantas mendapatkannya. Belas kasihan Allah menahan apa yang sesungguhnya pantas kita dapatkan dari Allah. Allah juga mengajari kita untuk tunduk kepada-Nya. Terkadang Allah memilih melakukan hal itu dengan cara mematahkan kita, sehingga Ia dapat memberkati kita. Kita sungguh perlu memandang ke tiga tempat untuk mengetahui Allah menghendaki kita menjadi siapa. Pertama, kita perlu memandang ke atas. Dalam seluruh kisah Alkitab yang akan kita pelajari, kita akan melihat bahwa sering kali Allah membutuhkan waktu yang lama untuk membuat orang “memandang ke atas.” Akan tetapi memandang kepada Allah adalah suatu keharusan kalau kita mau mencari tahu Allah menghendaki kita menjadi siapa. Sebab Allahlah yang menciptakan kita. Dialah yang memegang rancangan bagi kehidupan kita. Berikutnya, kita perlu memandang ke dalam hati kita. Dalam Mazmur 139, Daud berdoa, “Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiranpikiranku; lihatlah, apakah jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal!” (23-24). Kita semua perlu memohon agar Allah menyertai kita untuk menyelidiki hati dan kehidupan kita serta menuntun kita menjadi seperti yang Ia kehendaki. Pada akhirnya, kita perlu memandang ke sekeliling kita. Orang yang telah memandang ke atas dan telah benar-benar memandang ke dalam hatinya, sekarang telah siap memandang ke sekelilingnya dan berhubungan dengan sesama serta menjadi bagian dari rencana Allah bagi dunia. Apakah Anda pernah benar-benar memandang kepada Allah, untuk memahami apa yang Ia katakan tentang identitas Anda di dalam Dia? Seberapa sering Anda memandang ke dalam untuk melihat kondisi hati Anda? Apakah Anda memandang ke sekeliling untuk melihat bagaimana Allah menghendaki Anda berinteraksi dengan orang-orang dalam kehidupan Anda?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar